Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

BUYA HAMKA, Islam, dan Pancasila

 

BUYA HAMKA, Islam, dan Pancasila - news.italazhar.com
Sumber : YPI Al Azhar

Pada tulisan pertama dalam blog ini saya akan mengawali dengan menulis tentang seorang tokoh yang yang sangat dikagumi oleh seluruh umat islam, yaitu sosok buya hamka dalam sebuah judul yang sangat menarik yaitu BUYA HAMKA, Islam, dan Pancasila.

Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau yang biasa dikenal dengan sebutan Buya HAMKA adalah seorang tokoh umat, ulama, sejarawan, sastrawan, penulis, dan juga politisi yang sangat dikenal oleh masyarakat Indonesia. Ketokohan Buya HAMKA, keluasan wawasan dan kepeduliannya terhadap nasib umat Islam tidak hanya dikenal di kalangan masyarakat Indonesia, namun dikenal juga di negara-negara Timur Tengah dan Asia Tenggara. Bahkan, Tun Abdul Razak, Perdana Menteri Malaysia pernah mengatakan bahwa Buya HAMKA bukan hanya milik Indonesia, melainkan juga kebanggaan negara-negara di Asia Tenggara. Hingga Buya HAMKA wafat, jasa dan pengaruhnya masih sangat terasa dalam “memartabatkan” agama Islam di Indonesia. Begitulah pandangan sekilas dari seorang cendikiawan muslim Prof. Dr. Komaruddin Hidayat terhadap sosok Buya HAMKA saat menjadi narasumber webinar kebangsaan yang diselenggarakan oleh Universitas Al Azhar Indonesia, pada Selasa, 15 Maret 2022 di Aula Buya HAMKA, Masjid Agung Al Azhar, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.

Baca JugaBiaya Masuk SMA Al Azhar 2022

Dr. Komaruddin dalam paparannya menyatakan bahwa membicarakan Buya HAMKA memang tak ada habisnya, sehingga terasa aura positifnya menjadi semangat untuk generasi muda. Intelektual muslim yang lahir pada 18 Oktober 1953 di Magelang, Jawa Tengah dan biasa dipanggil dengan sebutan nama ‘Komar’ ini menilai bahwa perjuangan dan kepribadian yang menarik dari diri Buya HAMKA sangat menginspirasi bangsa Indonesia untuk dijadikan tauladan.  

Prof. Komar sendiri mengawali pendidikannya menjadi santri di Pesantren Modern Pabelan, Magelang. Setelah lulus dari pesantren, melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi di IAIN (Institut Agama Islam Negeri) yang kini menjadi UIN (Universitas Islam Negeri) Jakarta. Ia pun berhasil menyelesaikan pendidikan dan meraih doktor di bidang Filsafat Barat di Middle East Technical University, Ankara, Turki. Prof. Komar merupakan salah satu tokoh yang produktif mengembangkan studi Islam di Indonesia. Ia juga pernah menjadi dosen di beberapa perguruan tinggi di Indonesia. Bahkan ia juga pernah menjabat sebagai Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta periode 2006-2015. Tahun 2019 ia dipercayakan oleh Presiden Joko Widodo sebagai Rektor Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) hingga sekarang. 

Beberapa narasumber lain yang mengupas pandangan Buya HAMKA terhadap Islam dan Pancasila, selain Prof. Komar adalah Rektor Universitas Al Azhar Indonesia, Prof. Dr. Ir. Asep Saefuddin, M.Sc., Ketua HAMKA Center YPI Al Azhar, Dr. Yusuf Hidayat, S.Ag., M.H., dan Kepala Pusat Kajian Penerapan Etika dan Nilai-nilai Keislaman Universitas Al Azhar Indonesia, Drs. Murni Djamal, M.A. 

Prof. Dr. Ir. Asep Saefuddin, M.Sc. menyampaikan bahwa  diskusi tentang Buya HAMKA, Islam, dan Pancasila memiliki momentum yang kuat untuk menjawab pertanyaan dan rasa keingintahuan masyarakat saat ini.  Buya HAMKA adalah sosok yang dapat menjadi jawaban atas pertanyaan sebagian masyarakat bagaimana pandangan Islam terhadap Pancasila. Penting sekali mengangkat pemikiran-pemikiran para tokoh sejarah yang  mampu melihat permasalahan kenegaraan ini secara komprehensif dan jernih, dari sudut politik, agama, sosial dan ekonomi. Harapannya, agar masyarakat tidak terperangkap kepada simbol-simbol yang kaku dan dapat menyebabkan kita buta tanpa memahami esensi dari persoalan itu sendiri. 

Prof. Asep mengaku sebagai pengagum Buya HAMKA sejak duduk di bangku SD. Tokoh seperti Buya HAMKA harus terus didengungkan oleh kita kepada para generasi muda agar mereka mengenali pemikir-pemikir muslim yang cara berpikirnya sangat mendalam, diikuti dengan tindakan nyata sebagai sumbangsihnya terhadap tanah air Indonesia. 

“Saya melihat Buya HAMKA ini walaupun pernah ditahan pada zaman orde lama, tetap mempunyai hati yang merdeka dan tidak benci secara politik maupun pribadi kepada yang menahannya. Saat di dalam tahanan justru di situlah Buya HAMKA menghasilkan karya-karya.” ungkap Prof. Asep.

Moderator dalam diskusi kebangsaan ini adalah Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Al Azhar Indonesia, Dr. Heri Herdiawanto, S.Pd.,M.Si. Beliau di tesisnya meneliti tentang HAMKA yaitu Islam dan Negara dalam Perdebatan di Dewan Konstituante (1956-1959). Tesis tersebut menjadi kajian pemikiran politik HAMKA, mengenai Islam dan negara dalam perdebatan-perdebatan dasar negara yang berlangsung di Dewan Konstituante. HAMKA termasuk dalam kelompok pembela dasar negara Islam bersama Mohammad Natsir di Fraksi Masyumi, memperjuangkan syariat Islam di hadapan fraksi-fraksi lain, Nasionalis-Islam, Komunis dan Sosialis, Katholik-Protestan, dan anggota Konstituante yang tidak berfraksi. “Pandangan HAMKA tentang Pancasila itu termuat di dalam karyanya yang berjudul Urat Tunggang Pancasila. Buya HAMKA menganggap sila pertama adalah tokoh utama Pancasila, jadi urat tunggang itulah inti dari Pancasila bagi umat Islam yaitu Tauhid, sebuah konsep yang meng-Esakan Allah SWT.” pungkas pengantar Sang Moderator.

Sangat dikenal bagaimana Buya HAMKA menjelaskan kedudukan sila pertama Pancasila terhadap sila-sila yang lain. Buya HAMKA manganalogikan dengan 5 angka pada bilangan 10.000. Angka 1 di depan sebagai sila pertama Pancasila, dan empat angka 0 di belakang angka 1 berturut-turut sebagai sila ke-2, ke-3, ke-4, dan ke-5. Tanpa angka 1 maka angka-angka tersebut tidak memiliki nilai. Artinya, jika sila pertama hilang maka tidak bermakna lagi sila kedua, ketiga, keempat, dan kelimanya. HAMKA menguatkan dasar teologis dalam memaknai Pancasila selain Ki Bagus Hadikusuma (Penggagas Utama Sila Ketuhanan Yang Maha Esa) dan Mohammad Hatta dalam mengutamakan eksistensi sila pertama Pancasila.  

Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, “Kita itu tinggal dalam bangunan memori-memori, dan ketika memori itu kita bangun, dimaknai, dikonstruksi, dan diperkaya, maka akan menjadi bangunan-bangunan baru yang indah”. Menurutnya, karakter hidup kita dibangun oleh memori-memori. Sebuah bangsa juga karakternya dibentuk oleh kolektif memori bangsa itu. Umat Islam sangat kuat bangunan memori karena memiliki tradisi keislaman yang sangat kokoh dan kaya. Dalam sejarah Islam, banyak orang membangun bangunan memori yang kreatif, baik itu dekat dengan Al-Quran dan Hadits, atau yang baru.  

Prof. Komaruddin menceritakan pengalamannya bersama Buya HAMKA saat melintasi jalan Sisingamangaraja depan Sekolah Islam Al Azhar. HAMKA menyebut sekolah tersebut seharusnya dinamai dengan nama Santa Khadijah. Mengapa? Karena pada waktu itu sekolah-sekolah yang maju adalah sekolah Katolik atau Kristen. Sepanjang jalan di wilayah Jakarta sekolah dengan bangunan bagus dan modern hampir semuanya tidak ada sekolah Islam, lebih banyak sekolah Kristen. Lalu di mana letak sekolah Islam? Sekolah Islam lebih banyak berada di wilayah pinggiran Jakarta. Satu-satunya yang menjadi Ikon Islam pada waktu itu adalah Sekolah Al Azhar yang mampu menyamai sekolah maju dan berapa di pusat kota satelit. Al Azhar telah menjadi simbol dari Islam progresif, modern, dan ekspresi peradaban. Bahkan, Al Azhar telah menjadi pusat peradaban lewat dunia pendidikan Islam di Jakarta. 

Berbicara tentang Buya HAMKA, Islam, dan Pancasila maka penting kita bicara tentang bangsa. Bangsa sangat erat hubungannya dengan merdeka. Bayangkan jika ada negara yang tidak merdeka, maka bangsanya akan sengsara. Kemerdekaan tersebut bukanlah kemerdekaan fisik melainkan kemerdekaan jiwa, kemerdekaan berpikir, dan kemerdekaan hati, kemerdekaan berkehendak dan berkemauan secara fisik.  Sehingga orang seperti Buya HAMKA demi menjaga kemerdekaan integritas jiwanya lebih memilih menjadi tahanan dibanding kompromi. Sebab kalau kompromi, ia tidak akan punya kemerdekaan jiwa. Menjadi tahanan itu simbol dari komitmen menjaga kemerdekaan. 

Secara sukarela orang merdeka itu mengikatkan dirinya kepada kebenaran dan kebaikan dari yang Maha Benar dan Maha Baik, yaitu Allah SWT. Makanya “Akar Tunggang Pancasila” adalah Tauhid, Ketuhanan yang Maha Esa. Orang yang merdeka itu adalah orang yang tidak terikat pada apapun dan siapapun kecuali mengikatkan dirinya kepada Allah SWT. Manifestasi kemanusiaannya adalah senang kebenaran, senang kebaikan, senang keindahan, dan senang kedamaian. Keempat kesenangan tersebut adalah fitrahnya manusia. 

Buya HAMKA dengan tauhidnya yang kuat, bangun negara dan membina masyarakat. Membangun rakyat sebagai ibu kandung negara dan negara sebagai anaknya diawali dengan kesadaran tauhid yang sangat tinggi. Pancasila  tidak dapat dilepaskan dari ajaran luhur yang terkandung dalam Kitab Suci Al Quran. 

Merujuk pada Al Quran surat Al Hujurat ayat 13 terkait dengan cara memaknai bingkai kebangsaan, maka umat Islam sebagai bagian terbesar dari masyarakat Indonesia harus menjadi bagian dari solusi terhadap persoalan-persoalan di masyarakat. Ada satu kutipan dari HAMKA yang menyatakan bahwa Pancasila sebagai falsafah negara di Indonesia, tidak ada agama yang paling lengkap untuk memberikan tumbuh suburnya Pancasila ini kecuali Islam. Ketika kaum muslimin sungguh-sungguh memahami agamanya, sehingga agama menjadi pandangan dan mempengaruhi seluruh langkah hidupnya, maka Pancasila pun akan lestari. Pada sebagian masyarakat yang masih mempertanyakan keberadaan Islam terhadap Pancasila, maka hakikatnya adalah karena mereka tidak memahami keduanya. 

Ada dua hal yang menarik tentang kepribadian Buya HAMKA. Pertama sikap Buya terhadap perbedaan, dan yang kedua adalah ketika kita berbicara “Merdeka Belajar dan Belajar Merdeka”. Buya HAMKA berkepribadian hebat yang tidak pernah mempermasalahkan perbedaan bahkan mengajarkan untuk tidak anti terhadap perbedaan. Menurut Buya HAMKA, para Nabi diutus di tengah orang kafir dan menyikapi perbedaan dengan penuh kasih sayang, berdakwah dengan cinta kasih, dan kebaikan. Justru bagi HAMKA, melihat perbedaan dan keragaman sebagai ladang dakwah yang menggairahkan.

Baca JugaMars YPI Al Azhar yang sudah diperbaiki

Terkait dengan program “Merdeka Belajar”, Buya HAMKA telah berbicara tentang “Merdeka Belajar, Belajar Merdeka” sehingga sejak dulu sudah melaksanakan otodidak. Di era digital ketika ilmu bisa dipelajari kapan saja dan di mana saja, Buya HAMKA telah mencontohkannya dengan tidak hanya mendalami Al Quran, tetapi dari Alquran mendalami Fiqih, Sastra, Sosial, dan Politik. Buya HAMKA adalah satu model yang mendahului zamannya. Ilmu pengetahuan itu saling berkorelasi dan terjadi interkoneksi antar disiplin ilmu pengetahuan. Makanya Buya HAMKA bisa bicara apa saja, tetapi berangkatnya dari kedalaman Al Quran, kemampuan komunikasi yang sangat canggih lewat bahasa sastranya dan ketulusan hatinya. Karena menurutnya, orang sepintar apapun kalau tidak bisa berkomunikasi, orang lain tidak akan tahu bahwa orang tersebut itu pintar. Buya HAMKA adalah pembelajar seumur hidup sekaligus imbang karena dia belajar dan juga mengajar. Sejalan dengan zaman sekarang bahwa orang diperlukan untuk menjadi pembelajar yang baik dengan diri sendiri.

Dalam konteks kekinian, apa yang dapat kita pelajari dari Buya HAMKA?

“Kita ini belajar dari sejarah tetapi jangan menjadi tahanan sejarah. Misal, andaikan Rasulullah tidak hijrah ke Madinah, mungkin cerita Islam akan lain lagi. Buya HAMKA itu seorang moralis, pujangga, pendakwah, tetapi bukan politisi yang obsesif terhadap posisi jabatan politik, namun dia peduli. Oleh karena itu, diharapkan pikiran-pikiran Buya HAMKA bagi generasi berikutnya. Ia dapat dikatakan sebagai bapak bangsa, moral, penceramah pencerah zaman. 

Masyarakat Indonesia cenderung menilai bobot seseorang itu dengan bobot politik atau kedudukannya. Padahal banyak sejarah ditentukan bukan seperti itu. Buya HAMKA besar bukan karena jabatan politiknya, tetapi justru karena pribadinya, warisannya dan pencerah zamannya. Hal ini diperkuat oleh Al Quran bahwa kebesaran seseorang itu tidak harus diukur dengan ukuran jabatan politik. Di sinilah keadilan Allah SWT, karena Allah yang menimbang bobot amal seseorang.  

Selanjutnya, demi tetap berlangsungnya pembangunan di segala bidang kehidupan manusia, hindarkan dan cukupkanlah mempertentangkan Kitab Suci dengan Konstitusi. Terlalu kecil. Masing-masing memiliki tempat, dan tempatkan secara adil pada tempatnya. Sebagai warga negara taat dan patuhilah konstitusi. Adapun sebagai orang beragama ikuti Kitab Suci. Sebagai warga negara Indonesia dan umat Islam kita telah memahami bahwa  konstitusi Indonesia adalah hasil pemikiran merdeka dari para pemikir Islam yang mewariskannya kepada kita. Kewajiban kita adalah menjaganya, bukan mempertentangkan keduanya.


Posting Komentar untuk "BUYA HAMKA, Islam, dan Pancasila"